Senin, 04 Juli 2011

Nasib TKW



Nasib TKW yang Pilu: Potret Kegagalan Negara Mengurus Rakyat
Oleh: Ir. Alimuddin.L. MT.MM (Anggota Lajnah Siyasiyah-DPP HTI)
Hidup sengsara di negeri sendiri, hidup menderita di negeri orang. Itulah kenyataan yang dihadapi sebagian TKI/TKW Indonesia di luar negeri. Ironis memang, negeri yang sebenarnya kaya raya ini, sebagian penduduknya harus mengais rezeki di negeri orang, sementara orang asing (pekerja dan investor) berebut rezeki di negeri sendiri. Tenaga Kerja Indonesia (disingkat TKI) adalah sebutan bagi warga negara Indonesia yang bekerja di luar negeri dalam hubungan kerja untuk jangka waktu tertentu dengan menerima upah.
Namun demikian, istilah TKI seringkali dikonotasikan dengan pekerja kasar. TKI perempuan seringkali disebut Tenaga Kerja Wanita (TKW). (www.wikipedia.com).TKI sering disebut sebagai pahlawan devisa karena dalam setahun bisa menghasilkan devisa 60 trilyun rupiah tetapi dalam kenyataannya, TKI menjadi ajang pungli bagi para pejabat dan agen terkait. Bahkan di Bandara Soekarno-Hatta, mereka disediakan terminal tersendiri (terminal III) yang terpisah dari terminal penumpang umum. Pemisahan ini beralasan untuk melindungi TKI tetapi juga menyuburkan pungli, termasuk pungutan liar yang resmi seperti pungutan Rp.25.000,- berdasarkan Surat Menakertrans No 437.HK.33.2003, bagi TKI yang pulang melalui Terminal III wajib membayar uang jasa pelayanan Rp. 25.000.- (saat ini pungutan ini sudah dilarang). Pada 9 Maret 2007 kegiatan operasional di bidang Penempatan dan Perlindungan TKI di luar negeri dialihkan menjadi tanggung jawab BNP2TKI. Sebelumnya seluruh kegiatan operasional di bidang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di luar negeri dilaksanakan oleh Ditjen Pembinaan dan Penempatan Tenaga Kerja Luar Negeri (PPTKLN) Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia.
Pemaksaan terhadap tenaga kerja Indonesia (TKI) di luar negeri, khususnya Timur Tengah, Malaysia, dan Singapura, seperti tak ada habisnya. Mulai penyiksaan/kekerasan fisik, pemerkosaan, hingga gaji tidak dibayar. Bahkan, banyak yang bunuh diri karena depresi.
Kasus tersebut terjadi berulang-ulang dan sudah puluhan tahun. Semestinya, kita banyak belajar dari kejadian sebelumnya, sehingga ada penanganan khusus bagi TKI, terutama perlindungan hukum bagi mereka di tempat kerja di negeri orang. Ternyata, tidak banyak perubahan.
Perlakuan terhadap TKI Indonesia di Luar Negeri sangat memprihatinkan.
Kasus kekerasan yang dialami oleh para Tenaga Kerja Indonesia (TKI) maupun Tenaga Kerja Wanita (TKW) asal Kabupaten Ngawi cukup tinggi. Berdasarkan data yang dilansir oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Sari Solo, organisasi yang concern terhadap permasalahan buruh migran, menyebutkan, dari Januari hingga Agustus 2007 tercatat kasus kekerasan TKI/TKW asal Ngawi mencapai 1.752 kasus. Jumlah kasus kekerasan itu meliputi kekerasan fisik, kehilangan kontak atau tidak teridentifikasi saat berada di luar negeri, gaji tidak dibayar, menjadi korban penipuan, hingga kasus bunuh diri dan kematian.
Sedangkan, jumlah TKI/TKW asal Ngawi yang saat ini bekerja sebagai pembantu rumah tangga, buruh bangunan, sopir, dan tenaga kasar lainnya di luar negeri mencapai 7.657 orang.
Dalam catatan Migrant Care, sepanjang tahun ini terdapat 5.636 kasus kekerasan dan pelecehan seksual yang dialami TKI di luar negeri. Ketika seorang TKI asal Madura, Siti Zainab, pada 2007 divonis hukuman mati di Arab Saudi karena terbukti membunuh majikannya, Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid langsung menghubungi Raja Fahd sehingga pelaksanaan hukuman matinya ditunda,” kata Direktur Eksekutif Migrant Care Anis Hidayah dalam diskusi bertema Pahlawan devisa yang tersiksa, kemarin, di Jakarta. Demikian pula dengan kasus Nirmala Bonat, TKI asal Nusa Tenggara Timur yang disiksa majikannya di Malaysia. Presiden ke-5 RI Megawati Soekarnoputri mengundang Nirmala dan keluarganya ke Istana Negara sebagai bentuk kepeduliannya terhadap nasib TKI. Tetapi pada kasus kematian Yanti Irianti, TKI asal Cianjur, pada 2008, Presiden menanggapinya hanya dengan sikap terkejut dan meminta untuk memulangkan jenazahnya. Pemerintahan di era pemerintahan SBY, semakin banyak TKI yang divonis mati oleh penegak hukum negara tujuan penempatan. Saat ini, seorang TKI tengah menunggu eksekusi mati di Arab Saudi. Dan, tiga TKI divonis tetap oleh Mahkamah Agung Malaysia dengan hukuman mati. Kisah pilu penyiksaan TKW asal NTB Sumiati yang menjadi berita hangat di media massa terjadi sejak awal ia bekerja dengan majikannya, di Madinah 18 Juli 2010. Kebiadaban sang majikan yang berstatus janda dengan beberapa anak, telah tampak saat Sumiati menginjak kaki di rumah majikannya. Sang majikan mengambil telepon genggam Sumiati dengan maksud agar tidak bisa berkomunikas dengan pihak luar. Bahkan sang majikan menerapkan pelarangan bicara dengan tetangga, apalagi memberi kabar ke saudara di kampung halamannya, Dompu, Bima, NTB.
Selama empat bulan bekerja dengan majikan, Sumiati yang masih berusia 23 tahun kerap dipukul baik dengan benda keras maupun benda tumpul. Sumiati sejak masuk bekerja, dia mulai disiksa majikannya. Bahkan, Sumiati dilarang, diancam kalau bicara sama orang lain. (kompas.20/11/2010).
PERMASALAHAN TKI-TKW
Gambaran potret buram kegagalan negara mengurusi rakyat, TKW mendapat korban tiga kali. Pertama, mendapat tindak kekerasan. Kedua, tiada kebebasan untuk melakukan perlawanan. Ketiga, tak adanya atau minimnya jaminan perlindungan, baik dari negara tujuan maupun pemerintah Indonesia.
Kekerasan demi kekerasan terhadap para buruh tenaga kerja Indonesia (TKI) di luar negeri sepertinya menjadi cerita panjang yang tak pernah usai. Kasus terbaru menimpa Sukasih, TKI asal Jatim, yang terjatuh dari balkon lantai empat sebuah apartemen di Tengkera, Malaka, Malaysia. Seperti dilansir harian Malaysia The Star (23/9/2008), Sukasih terjun bebas dari sebuah apartemen. Dia terpeleset saat memanjat pagar balkon. Jatuhnya Sukasih ini diduga lantaran menghindari kejaran polisi Diraja Malaysia karena yang bersangkutan tidak memiliki dokumen resmi. Sukasih dilarikan ke Malacca Hospital. Namun, dua jam kemudian nyawanya tidak tertolong lagi. Selang beberapa muncul kasus baru, yakni terkatung-katungnya nasib jenazah TKI Jatim yang belum bisa dipulangkan ke Indonesia. Adalah Siti Tarwiyah, seorang TKI asal Bilitar, yang kematiannya diduga tidak wajar. Menurut Direktur Migran Care, Anis Hidayah, Siti Tarwiyah sudah meninggal 50 hari lalu. Namun, sampai saat ini belum bisa dipulangkan karena terbentur birokrasi di Arab Saudi yang ribet dan berbelit-belit. Sudah meninggal saja para TKI kita sangat diperlakukan tidak manusiawi, apalagi ketika masih hidup (Radar Surabaya, 24/9/2007)
Korban kekerasan
Dari sekian banyak TKI yang bekerja di luar negeri, sebagian besar TKI berpotensi menjadi korban kekerasan, baik itu kekerasan fisik, psikis, dan ekonomi. Dan memang sebagian besar korban kekerasan terhadap TKI di luar negeri adalah kaum perempuan. Dan saat ini sudah ada ratusan, bahkan ribuan TKI, yang menjadi korban tindak kekerasan di luar negeri, baik TKI yang masih bertahan di luar negeri maupun yang sudah kembali. Sebagian besar TKI yang pulang akibat tindak kekerasan majikannya dalam kondisi fisik dan psikis yang sangat memprihatinkan. Bahkan, ada yang sampai meninggal dunia. Berangkat dalam keadaan hidup, pulang dalam kondisi meninggal. Nasib TKI sungguh sangat mengenaskan. Namun, semakin banyak kasus kekerasan terhadap TKI, sepertinya bagaikan tontonan yang tak pernah mendapatkan perlakuan dan perlindungan yang memadai dari pihak Pemerintah Provinsi Jatim. Persoalan perlindungan terhadap TKI di luar negeri dinilai masih sangat rendah. Ini ditunjukkan dengan munculnya berbagai persoalan yang menimpa TKI di luar negeri tanpa mendapat advokasi dan perlindungan yang memadai. Bahkan, berbagai persoalan yang menimpa TKI cenderung dibiarkan begitu saja. Yang paling parah menimpa TKI. Selain masalah upah yang tak dibayar atau tidak sesuai standar ketenagakerjaan, persoalan yang sering kali dialami adalah masalah kekerasan. Sebagian besar TKI mendapat perlakuan dan tindakan kekerasan, baik kekerasan fisik, psikologis, maupun kekerasan seksual dari keluarga majikan. Menurut catatan Migran Care, pada tahun 2007 ada sekitar 61 TKI yang meninggal di luar negeri, sebanyak 28 TKI mengalami perlakuan tindak kekeraan, dan 56 TKI terancam hukuman cambuk atau mati. Bahkan, ada beberapa TKI yang dituduh membunuh majikannya. (http://tki-stories.blogspot.com/2009/01/potret-buram-tki.html)
Semua persoalan TKI di luar negeri berawal dari masalah domestik. Sampai saat ini, pemerintah gagal menyusun sistem perekrutan, dokumentasi, dan pelatihan calon TKI yang mumpuni. Pemerintah menyerahkan hampir semua proses kepada pelaksana penempatan tenaga kerja Indonesia swasta (PPTKIS) dan baru muncul aktif menjelang tahap akhir penempatan. Persoalan kemiskinan membuat ribuan angkatan kerja tanpa keahlian, bahkan sebagian besar tidak berpendidikan formal sama sekali, mendaftar menjadi TKI. Keterbatasan informasi dan peran aktif pemerintah, terutama di daerah, membuat sponsor menjadi dewa penolong mereka. Sponsor, yang seolah-olah kepanjangan tangan PPTKIS, berkeliaran mencari siapa saja yang berminat bekerja ke luar negeri dengan janji gaji yang menggiurkan. Sponsor mengantar calon TKI ke penampungan-penampungan PPTKIS dan meninggalkan mereka di sana begitu menerima uang jasa dari pengusaha. Sampai di sini, PPTKIS wajib membekali calon TKI dengan pelatihan kompetensi minimal 200 jam dan bagi mereka yang sudah pernah bekerja di luar negeri selama 100 jam. Kursus selama sekitar 21 hari tersebut bertujuan meningkatkan kompetensi calon TKI terhadap bahasa, kondisi sosial, dan hukum di negara tujuan. Tetapi, dalam kasus Sumiati, kita mengetahui proses ini tidak berjalan. Sumiati tidak bisa berbahasa Arab dan Inggris. Faktor komunikasi yang membuatnya tidak mampu memahami permintaan atau instruksi majikan. Oleh karena itu, Sumiati telah menjadi korban keserakahan pengusaha penempatan dan birokrat yang tidak mampu menjalankan tugas. Bagaimana mungkin Sumiati bisa tetap berangkat ke Madinah dengan prosedur resmi sementara dia tidak memenuhi syarat pokok dalam kompetensi kerja? Dalam hal ini, tentu kita tidak bisa menyalahkan Sumiati. Dia hanya ingin bekerja agar bisa keluar dari kemiskinan. Sumiati bisa saja merasa tertarik atas keberhasilan teman dan kerabatnya yang sukses mendulang rezeki di luar negeri menjadi TKI.
Pada masa Muhaimin Iskandar menjabat Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, meluncurkan program sertifikasi kompetensi 15.000 calon TKI tujuan Timur Tengah bekerja sama dengan asosiasi pengusaha penempatan TKI. Muhaimin juga merazia sejumlah tempat penampungan calon TKI yang tidak layak dan menegaskan akan mencabut izin PPTKIS konsumen sertifikat kompetensi kerja TKI asli tetapi palsu. Disebut asli tetapi palsu (aspal) karena PPTKIS mendapatkan sertifikat resmi itu tanpa menyertakan calon TKI dalam program pelatihan kerja. Sertifikat aspal ini diperdagangkan dengan harga Rp 70.000 per lembar. Ketua Umum Himpunan Pengusaha Jasa Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Yunus M Yamani dan Sekretaris Jenderal Asosiasi Perusahaan Jasa Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Rusjdi Basalamah pernah mempersoalkan hal ini. Namun, pemerintah tidak kunjung menangani sehingga praktik ilegal itu semakin meluas. Pengusaha yang serius menjalankan aturan pemerintah menyertakan calon TKI dalam program pelatihan kerja berbiaya Rp 1,1 juta per orang pun tergoda. Mereka telah kehilangan daya saing saat pemerintah tak kunjung menindak perdagangan sertifikat aspal senilai Rp 70.000 per lembar tanpa proses pelatihan. Menurut Direktur Eksekutif Migrant Care Anis Hidayah, PPTKIS dan balai latihan kerja penerbit sertifikat kompetensi kerja aspal bisa dipidana karena menggunakan dokumen resmi secara tidak sah.
Namun, Kemennakertrans dan BNP2TKI juga patut diseret ke pengadilan karena turut meloloskan pemegang sertifikat aspal ke luar negeri. Kelemahan pemerintah membenahi persoalan domestik turut melemahkan rasa percaya diri diplomasi bilateral. Saat ini, Indonesia menghentikan sementara (moratorium) penempatan TKI sektor informal ke Malaysia sejak 26 Juni 2009, Kuwait (1 September 2009), dan Jordania (30 Juli 2010). Moratorium ini berawal dari keengganan pemerintah ketiga negara memenuhi permintaan Indonesia. Kemampuan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan pembantunya dalam hal negosiasi, lobi, dan diplomasi sangat menentukan keberhasilan moratorium. Kalau tidak, ya seperti sekarang. Kebijakan buruh migran Indonesia akan terus berfluktuasi mengikuti kemauan negara tujuan dan penyiksaan TKI oleh majikan tak lebih angka statistik semata. Semua demi aliran devisa. (http://regional.kompas.com/read/2010/11/19/08161095/Nasib.Pahlawan.Devisa.di.Negeri.Citra)
PERAN PEMERINTAH SEBAGAI SOLUSI TKI-TKW
Sesungguhnya, kisah TKI-TKW bukanlah suatu hal yang baru dalam kisah duka para tenaga kerja (dulu disebut buruh atau babu migran) asal negeri ini. Munculnya fenomena berbondong-bondongnya tenaga kerja asal Indonesia untuk pergi menjemput rezeki ke luar negeri, tidak bisa dilepaskan dari kondisi ekonomi di dalam negeri. Kemiskinan yang terstruktur dan semakin mencekik leher masyarakat di negeri ini telah pasti membuat hidup semakin susah. Sementara akibat kemiskian itu, otomatis tidak ada jaminan untuk hidup sejahtera bagi masyarakat.
Kondisi itu ditambah lagi dengan sempitnya lapangan pekerjaan yang disediakan oleh pemerintah hingga menyebabkan jumlah pengangguran kian ‘bertumpuk’ dari masa ke masa. Kalau pun ada lapangan kerja, upahnya juga sangat murah dan tak sesuai harapan.
Itulah beberapa faktor yang telah memicu banyak orang berhijrah ke negara lain untuk mengadu nasib mencari pekerjaan demi mendapatkan rezeki untuk menyambung hidup. Mungkin dalam bahasa para TKI, “daripada harus tetap bertahan di dalam negeri, namun berada dalam kelaparan dan kemiskinan, lebih baik menjadi TKI saja.” Menjadi TKI adalah solusi bagi mereka untuk bertahan hidup. Namun, ironisnya, maksud hati ingin mencari pekerjaan yang nyaman, tapi ternyata justru penganiayaan yang mereka peroleh di luar negeri, seperti yang dialami oleh sebagian TKI; Sumiati dan kawan-kawan. Selain hal di atas, nasib buruk para TKI juga disebabkan oleh kelemahan birokrasi dalam pengiriman TKI dengan sistem yang buruk pula. Banyak perusahaan ilegal yang mengirim para TKI dengan iming-iming akan dipekerjakan di tempat ini-itu. Setelah sampai, mereka terkadang tidak mendapatkan apa yang sudah dijanjikan, padahal untuk berangkat saja mereka sudah membayar mahal. Sehingga, ibaratnya, para TKI dijadikan sebagai sapi perahan oleh oknum-oknum tak bertanggung jawab, yang terlibat dalam ‘bisnis’ TKI. Mereka justru mencari keuntungan di tengah himpitan penderitaan orang lain.
Kalau pun ada perusahaan yang resmi untuk mengirim tenaga kerja, namun tak bisa diingkari, banyak pula dokumen yang dipalsukan seperti soal umur, dan lain-lain. Lokasi pengiriman TKI juga sering tidak sesuai tujuan yang dijanjikan. Akibatnya, ini pula yang menjadi faktor tersendiri akan pemicu semakin panjangnya daftar penderitaan para TKI.
Sebenarnya, boleh jadi, rakyat negeri ini tidak akan begitu tergiur untuk menjadi TKI, jika kemiskinan terstruktur yang ‘diciptakan’ negara tidak demikian kejam melanda masyarakat.
Tidak akan terjadi kelaparan dan kemiskinan di dalam negeri sendiri jika tersedia lapangan kerja yang memungkinkan setiap orang untuk mencari nafkah hingga pengangguran tidak terus bertambah. Masalah TKI ini juga tidak akan terjadi jika saja kesejahteraan hidup terjamin di dalam negeri. Sayangnya, semua ini seakan masih di awang-awang dan sulit dijangkau oleh masyarakat. Atas berbagai faktor itulah, maka peran pemerintah sebagai pihak yang paling bertanggung jawab untuk menangani urusan rakyat, sangat dituntut keseriusannya. Yang dimaksud adalah tanggung jawab yang maksimal dalam mengurus berbagai problematika masyarakat, terutama mengatasi pengangguran. Juga dibutuhkan keseriusan pemerintah dalam menangani penderitaan yang dialami oleh para TKI yang ada di berbagai negara. Setelah ada masalah yang terkait dengan TKI, yang menjadi tanggung jawab dan tugas pemerintah adalah menyelesaikan termasuk mendampingi korban dalam proses hukum.
TKI juga warga negara Indonesia yang berhak mendapatkan pelayanan negara secara memuaskan, apa pun statusnya. Mereka adalah warga negeri ini yang berjuang mendulang devisa.
Dengan metode pertumbuhan ekonomi, maka kebijakan-kebijakan ekonomi pemerintah bukannya memerangi kemiskinan dan pengangguran tetapi memerangi orang miskin dan pengangguran. Sebab untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi dalam sistem ekonomi ini (Kapitalisme), pemerintah harus menarik investor dari dalam dan luar negeri dan menciptakan kepercayaan pasar dengan berbagai kebijakan yang menguntungkan para investor dan merugikan masyarakat. Akibatnya tidak jarang rumah dan tanah orang-orang miskin digusur untuk kepentingan investor. Kekayaan Indonesia yang seharusnya menjadi hak rakyat sebagai milik umum diserahkan kepada swasta dan investor luar negeri. Sementara energi pemerintah untuk memperhatikan dan memperbaiki kondisi rakyatnya habis tersedot untuk melayani kepentingan para investor (pemilik modal).
Di satu sisi pemerintah mengharapkan devisa 2-3 milyar dollar dari TKI/TKW, di sisi lain pemerintah menghambur-hamburkan uang untuk kepentingan yang tidak berfaedah selain untuk kepentingan asing. Selama orde baru berbagai proyek pembangunan yang dibiayai pinjaman Bank Dunia senilai 30 milyar dollar, 10 milyar di antaranya bocor dan habis dikorupsi. Pemerintah melalui sistem ekonomi yang diterapkan telah dengan sengaja menciptakan ketidakadilan, kesenjangan, kesengsaraan bagi rakyatnya.
Ingatlah sabda Nabi SAW yang menyatakan, “Seorang pemimpin akan dimintai pertanggungjawabannya atas rakyatnya.” (HR. Bukhari)
Pemerintah tidak boleh menelantarkan rakyatnya dan tidak memberikan jaminan kehidupan dan pekerjaan, apalagi menyebabkan seorang ibu dan remaja putri meninggalkan suami, orang tua, dan keluarganya jauh di luar negeri tanpa didampingi mahromnya. Lebih parah lagi banyak di antara mereka yang diperkosa dan dibunuh dan dijadikan pelacur. Menurut Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi 10 persen dari 3-4 juta TKI/TKW Indonesia mengalami penyiksaan. Di Indonesia termasuk Negara yang mayoritas penduduk Islam seharusnya bisa mandiri mengurusi tenaga kerja dengan menciptakan lapangan kerja dengan pengelolaan industri yang baik, pengelolaan SDA yang bagus tetapi karena sistem masih tambal sulam kapitalistik maka saatnya umat Islam sadar memperlakukan syariat Islam dan sistem kepemimpinan yang Islami untuk mengatasi TKI-TKW.(http://hizbut tahrir indonesia.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar